Wednesday, February 14, 2007

Syariat Islam; Antara Mitos Dan Realita

iklan atas artikel
Prolog

Setelah ‘muak’ diotoriteri, bosan berdemokrasi, ‘kapok’ cekikan bunga riba, resah oleh kejahatan, kesal dengan kepura-puraan, lalu bingung… “fa aena tazdhabûn?!”
Sementara, mencari kebenaran Islam ibarat memungut jarum di tumpukan jerami. Selain sulit, juga ditakut-takuti.

Musuh Islam terus mendramatisir kesan seram bila hukum Islam diterapkan. Mungkinkah Islam yang pernah menguasai dunia hampir satu millennium, tidak memiliki aturan jelas dan detail dalam urusan kenegaraan? Bagaimana sebenarnya esensi hukum Islam, yang ibarat buah manis, namun acapkali dibilang busuk oleh banyak orang?
Berangkat dari hal di atas, mari kita coba telusuri adigium pemikiran internal maupun eksternal umat Islam. Karena hanya dengan itu, kita dapat merumuskan sebuah konsep yang konprehensif, dalam mengusung agenda penerapan syariat Islam.

Mitos Tentang Syariat

Dari kajian sementara ditemukan, bahwa agenda penerapan syariat Islam mendapat kendala, sebagai akibat munculnya mitos yang tidak jelas. Atau, bisa juga disebut sebagai syubhat, yang tentu mempengaruhi keyakinan terhadap keniscayaan penerapan syariat. Bila diuraikan satu per satu, maka akan muncul daftar panjang. Tapi, yang paling dominan, ada empat poin:1. Tidak relevan

Mitos yang mempertanyakan apakah penerapan syariat Islam masih relevan dengan ruang dan zaman kita yang terus berubah? Dapatkah Islam menjawab tantangan problematika zaman modern yang sangat rumit dan kompleks ini? Mitos ini mempertanyakan kelayakan Islam sebagai sebuah konsep hidup. Secara substansial, mampukah ia mengatur kehidupan masyarakat modern sebagaimana telah dilakukan oleh ideologi-ideologi lain?

2. Tidak manusiawi

Mitos yang mempertanyakan sisi kemanusiaan hukum Islam. Khususnya, terkait hukum pidana. Menurut mereka, pidana Islam sangat kejam. Bukankah hukum qishâsh bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, atau rajam bagi pezina terlalu kejam dan tidak manusiawi untuk ukuran zaman kini? Perzinaan, dalam hukum positif tidak dikategorikan sebagai tindak pidana, justru dianggap kasus pidana dalam hukum Islam? Bukankah dengan demikian, syariat Islam dicap sebagai hukum tangan besi dan cenderung berdarah-darah?

3. Masyarakat tanpa dosa

Mitos yang terkait dengan persepsi masyarakat Islam sebagai “komunitas malaikat”. Sehingga penerapan syariat hanya akan memunculkan kesan kehidupan yang terlalu rigid, suci, dan relatif tanpa dosa. Sebuah dunia, yang hanya dimiliki malaikat, dan tidak sesuai dengan fitrah asli manusia yang rentan dosa & dunia hitam. Seberapa kuatkah mereka dapat bertahan hidup dalam sistem yang menerapkan standar moral tinggi? Mitos ini membuat mereka tidak yakin untuk bisa bertahan.

4. Disintegrasi nasional

Mitos politik historis yang menganggap bahwa penerapan syariat Islam sebagai ancaman bagi integritas nasional. Khususnya dalam masyarakat plural secara etnis, agama dan budaya, seperti Indonesia. Mitos ini, pada akhirnya mempertentangkan Islam dengan nasionalisme. Karenanya, setiap ada usaha menerapkan syariat Islam, dikategorikan sebagai tindakan yang tidak nasionalis?
Selain empat mitos di atas, ada lagi satu keraguan. Yaitu, seandainya Islam masih relevan dengan konteks zaman modern, dan bisa memunculkan masyarakat suci seperti malaikat serta integrasi nasional bangsa dapat dipertahankan, atau bahkan lebih solid, Sudah adakah negara Islam yang dapat dijadikan model untuk itu? Bila ada, dapatkah negara tersebut dikatakan lebih baik dibanding negara-negara sekuler-modern seperti Amerika Serikat, Eropa atau Jepang?

Bukan Sekedar Apologi

Mitos-mitos di atas terus berkembang. Namun, kita juga harus sadar, bahwa jawaban apapun yang kita berikan, tidak dengan sendirinya akan menjamin adanya penerimaan menyeluruh terhadap tuntutan penerapan syariat Islam, sekalipun jawaban kita dapat memuaskan semua pihak. Karena itu, sikap apologi tidak efektif. Kita akan tampak tidak percaya diri ketika hanya menyibukkan diri dengan memberikan jawaban pembelaan.

Kita bisa saja menjawab mitos pertama dengan menjelaskan, bahwa Islam telah berhasil membangun sebuah peradaban besar yang memenuhi ruang sejarah manusia sepanjang satu millenium. Bagaimana peradaban itu kemudian menjadi referensi utama bagi kemajuan peradaban Barat saat ini. Sukses sejarah itu tetap bisa diulang karena institusi ijtihîd dalam Islam adalah rahasia besar yang dapat mempertahankan relevansi Islam dengan berbagai perubahan yang terjadi sepanjang kurun sejarah manusia.

Kita juga bisa menjawab mitos kedua, dengan menjelaskan akar persoalan. Bahwa hukum berfungsi mengurangi angka kriminalitas, dan betapa efektifnya hukum pidana Islam melakukan fungsi itu. Pembuktian tindak pidana zina misalnya, betapa manusiawinya, karena sistem pembuktiannya mengharuskan adanya empat saksi. Syarat itu tentu sangat berat dalam kasus perzinaan biasa. Karena sulit sekali membayangkan, bahwa ada seseorang yang berzina dan disaksikan empat pasang mata sekaligus, kecuali kalau mereka sedang memproduksi film porno, atau sedang mengadakan pesta seks. Untuk kasus ini, pelakunya tentu saja bukan sekedar pezina, tapi telah berubah menjadi institusi yang menyebarkan perzinahan, dan karenanya dapat dikategorikan sebagai perusak (ifsâd) masyarakat.

Kita juga bisa menjawab mitos ketiga, dengan menjelaskan sisi manusiawi masyarakat Madinah di zaman Rasulullah Saw. Masyarakat Islam bukanlah masyarakat malaikat yang ‘sok suci’ tanpa dosa. Bahkan di antara mereka yang dibina langsung oleh Rasulullah Saw, dan di saat al-Qur'an masih turun membimbing mereka, tetap saja ditemukan kasus perzinaan. Islam berusaha menekan jumlah pelanggaran. Tindakan kriminal akan tetap ada, tapi dengan porsi yang sangat rendah. Dan itu merupakan indikator keamanan dan kenyamanan sosial yang diperlukan seluruh manusia.

Kita juga masih bisa menjawab seabrek mitos lain. Tapi selama jawaban itu masih dalam kerangka apologi, maka tak akan pernah menghasilkan penerimaan luas dan menyeluruh terhadap tuntutan penerapan syariat.

Epilog
Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan sebagai terobosan, guna membahasakan tuntutan kita:

Pertama,, kita perlu menunjukkan political will yang jujur dan kuat, bahwa kita secara personal komitmen ingin menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Isu ini tidak diangkat sekedar jargon politik untuk meraup suara umat Islam dalam pemilu.

Kedua, memenangkan wacana publik. Menjelaskan Islam apa adanya sebagaimana Ia diturunkan. Islam dengan kerangka sistem yang lengkap, komprehensif, moderat, penuh keseimbangan, merupakan rahmat bagi manusia.
Ketiga, gunakan bahasa realita. Karena ia tak dapat dibantah. Sukses perbankan syariah misalnya, jauh lebih konkrit membuktikan keunggulan sistem ekonomi Islam dibanding seribu buku yang ditulis. Memakai bahasa kenyataan memaksa kita mensinergikan antara keunggulan sistem Islam dengan kehandalan SDM Muslim. Dengan kata lain, sudahkah diri kita merepresentasikan kecanggihan Islam?

by:Muzakkir Muhsin Thaha
iklan atas artikel

You May Also Like

Subscribe by Email

Syariat Islam; Antara Mitos Dan Realita
4/ 5
Oleh