Muhammad Arifin el-Jahari
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin kepada mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan makud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik….” (QS. Al Maidah: 5).
Ahli Kitab adalah orang-orang Nashrani dan Yahudi, begitu para ulama menafsirkannya. Mereka mempunyai sejarah yang cukup panjang sebelum Islam. Nabi Isa as. dan Musa as. dipercayakan oleh Tuhan untuk menjadi panutan dan pemimpin mereka dalam hal menjalankan perintah-perintah Agama. Menurut al-Qur’an dan Kitab asli mereka (masih dalam doktrin Islam), Nabi Isa as. dan Musa as., hanyalah Nabi sementara yang akan turun Nabi terakhir guna menyempurnakan ajaran Tuhan di muka bumi. Sepantasnya seorang Nabi terakhir akan menentukan corak umatnya, dia (dengan wahyu Allah) bisa saja merobah ajaran-ajaran sebelumnya, mengoreksi kesalahan dan kekeliruan masa lalu.
Namun, hal ini hanya sebatas angan belaka, rakyat israel yang terkenal dengan ke-keraskepala-annya itu tidak mau tunduk kepada Nabi terakhir yang telah dijanjikan Allah dalam kitab mereka, padahal sudah jelas bukti-bukti yang telah dikemukakan. Pada awalnya, mereka berprasangka bahwa Nabi terakhir yang akan datang itu adalah dari bangsa Israel sendiri, setelah melihat kenyataan yang ada, bahwa Nabi terakhir itu dari bangsa arab, mereka tidak mengakui hal itu. Agaknya sifat fanatik kebangsaan tertanam kokoh di lubuk hati mereka, sampai-sampai ada istilah di agama Yahudi yang sangat terkenal ‘bangsa Israel adalah satu-satunya bangsa pilihan Tuhan’. Al-Qur’an juga menjelaskan ‘berapa banyak Nabi yang diutus Allah kepada mereka yang mereka bunuh?’
Di zaman Nabi Saw. mengemban tugas guna menyampaikan risalah kepada manusia, tidak lepas juga dari ancaman kejahatan mereka. Pada saat Nabi Saw. hijrah ke Madinah, di situlah beliau berhadapan dengan para Ahli Kitab. Mungkin kita masih inggat perang Ahzab yang sangat dahsyat itu, walaupun sebenarnya tidak terjadi peperangan, namun dengan jumlah mereka yang cukup besar (gabungan antara beberapa golongan) membuat hati sebagian orang Islam (munafiq) gentar, sehingga lari terbirit-birit menuju kampung halamannya untuk menyelamatkan diri. Setelah itu, terjadi lagi peperangan dengan Bani Quraizhah (para Ahli Kitab), kaum Muslimin memukul telak mereka sampai ribuan dari mereka tewas terbunuh. Sudah beginipun mereka masih saja tetap kafir dan sombong, tidak mau mengakui eksistensi Islam sebagai agama perpanjangan agama mereka.
Walaupun keadaan mereka yang sedemikian rupa, namun Islam tetap saja berpandangan baik dengan eksistensi agama mereka. Terbukti Islam membolehkan orang-orang mukmin untuk memakan sembelihan mereka (walaupun dengan menyebut nama Tuhan mereka) dan menikahi wanita yang baik-baik (menjaga diri) dari mereka. Allah SWT. berfirma: ‘… Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu …’. (QS: al-Maidah: 5). Pada suatu hari Abu Darda’ ra. ditanya tentang seekor kibas yang disembelih atas nama kanisah (gereja), mereka bertanya; 'apakah kami boleh memakannya?' Abu Darda’ ra. menjawab: ‘hal itu dimaafkan, mereka itu Ahli Kitab, makanannya halal bagi kita dan makanan kita halal pula bagi mereka. Dan Abu Darda’ ra. menyuruh untuk memakannya. (Riwayat at-Thabari). Imam Malik ditanya tentang hal yang sama dan beliau mengatakan: ‘aku membencinya dan tidak ku haramkan’. (DR. Yusuf el-Qordhawi, 2002: 57-58). Dari ayat di atas Allah juga menjelaskan boleh menikahi perempuan Ahli kitab secara umum.
Umar ibnu al-Kaththab ra., tatkala memimpin sebuah Khilafah pernah mengeluarkan statemen yang kalau kita lihat sekilas bertentangan dengan ayat di atas. Beliau melarang Huzaifah ra, menikahi Ahli Kitab, walaupun menurut umar sendiri hal itu dihalalkan. Umar ra, takut kalau hal ini berdampak fatal mendatangnya, karena beliau melihat pada saat itu besarnya jumlah wanita muslimah, juga beliau takut (kalau menikahi perempuan Ahli Kitab) akan berdampak pada pendidikan akidah anak, sebab inilah Umar ra. melarang para sahabat saat itu (Huzaifah) untuk mengawini Ahli Kitab. Menurut DR. Muhammad Imarah dalam buku kecilnya an-Nash al-Islamy baina al-Ijtihad wal Jumud wat Tarikhiyah, larangan Umar ra, bukanlah melanggar nash yang ada, tapi ini adalah sebuah ijtihad yang mengeluarkan furu’ hukum dengan memandang kemashlahatan yang ada, di samping hukum aslinya masih tetap.
DR. Yusuf el-Qordhawi memberikan syarat-syarat tertentu untuk mengawini perempuan Ahli Kitab, antaranya:
Perempuan Ahli Kitab itu menjaga kehormatannya.
Mereka bukan Ahli Kitab yang memusuhi Islam.
Apabila jumlah kaum muslimin sedikit di negeri itu.
Tidak ada indikasi yang menunjukkan ‘bahayanya pendidikan anak’ mendatang, terutama masalah akidah.
Walaupun demikian, DR. Yusuf el-Qordhawi tetap saja mengatakan: ‘menikahi wanita muslimah adalah lebih baik dari pada menikahi perempuan Ahli kitab. (DR. Yusuf el-Qordhawi, 2002: 164).
Dalam membahas nikah antaragama ini, kiranya ada dua golongan yang berpandangan ekstrim. Universitas Paramadina dengan gerakan JIL (Jaringan Islam Liberal)-nya, berpendapat boleh nikah antaragama dengan tanpa syarat dan bahkan, boleh nikah antaragama walaupun bukan dari Ahli Kitab, laki-laki atau perempuan. Di kelompok lain berpandangan ‘haram nikah antaragama mana saja’.
Kelompok pertama – mungkin – beralasan kalau nikah antara muslim dan Ahlu Kitab (Yahudi dan Nashrani) boleh, sedangkan terdapat perbedaan mendasar antara dua agama, mengapa dengan agama lain tidak dibolehkan? Mereka lupa bahwa Tuhan mempunyai otoritas penuh dalam hal ini, bukankah mereka (Ahlu Kitab) juga agama yang pernah diturunkan Allah walaupun sekarang sudah terjadi tahrif (distorsi)?, ini adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan Allah.
Sedangkan golongan kedua beralasan, Allah berfirman: ‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min adalah lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu….’. (QS. Al-Baqarah: 221). Ayat ini dipelintir oleh Ibnu Umar ra. dalam berhujjah haramnya menikah dengan Ahli Kitab, dan beliau mengatakan; ‘aku tak tahu syirik apa yang lebih besar dari orang yang mengatakan ‘Tuhannya Isa’? (dinukil oleh Fakhrur Razi dalam tafsirnya).
Di sini Ibnu Umar ra. menyamakan antara Ahli Kitab dan orang musyrik lainnya. Kalau kita menilik sebuah ayat dari surat al-Bayyinah, kita akan mendapatkan indikasi yang membedakan antara Ahli Kitab dan orang musyrik. Allah berfirman: ‘Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang Musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata’. (QS. Al-Bayyinah: 1). Dijelaskan di sebagian kitab-kitab tafsir ‘bahwa Allah sendiri membedakan antara Ahli Kitab dengan orang-orang Musyrik’, terbukti tatkala Allah menerangkan orang-orang kafir di dalam ayat itu membagi kepada dua, Ahli Kitab dan orang Musyrik. Jadi – menurut penulis – ayat itu tidak sah dijadikan dalil pengharaman menikah dengan Ahli kitab. Allahu A’lam.
Mungkin di benak kita masih mempunyai alasan lain, yang dimaksud Ahli Kitab di situ adalah Ahli kitab di masa keaslian kitab mereka, bukan masa sekarang yang penuh dengan perobahan dan kesyirikan. Penulis kira, perkataan ini sangat tidak beralasan sekali. Mengapa demikian? Bukankah kitab Taurat dan Injil di masa Rasul Saw. sudah terjadi distorsi? (lihat, QS. An-Nisa’: 46. dan masih banyak ayat yang menerangkan hal senada). Bukankah Tuhan mereka di masa Rasul Saw. adalah Tuhan Three in one? (al-Maidah: 72-73). Namun demikian, Allah tetap saja menghalalkan memakan dan menikahi perempuan mereka. Lalu mengapa kita membedakan di masa Rasul Saw. dan zaman sekarang (?), padahal kitab mereka sama-sama telah didistorsi dan mereka – dulu dan sekarang – sama-sama menyekutukan Allah sebagai Tuhan tunggal.
Jelaslah bagi kita, bahwa Islam mempunyai sifat tasamuh (toleransi) yang cukup tinggi, yang harus menjadi pertimbangan agama lain untuk menyudutkan Islam sebagai agama yang kejam. Allahu A’lam.
<* Penulis adalah mahasiswa Fak. Theology jurusan Tafsir Al-Azhar University.
Ahli Kitab adalah orang-orang Nashrani dan Yahudi, begitu para ulama menafsirkannya. Mereka mempunyai sejarah yang cukup panjang sebelum Islam. Nabi Isa as. dan Musa as. dipercayakan oleh Tuhan untuk menjadi panutan dan pemimpin mereka dalam hal menjalankan perintah-perintah Agama. Menurut al-Qur’an dan Kitab asli mereka (masih dalam doktrin Islam), Nabi Isa as. dan Musa as., hanyalah Nabi sementara yang akan turun Nabi terakhir guna menyempurnakan ajaran Tuhan di muka bumi. Sepantasnya seorang Nabi terakhir akan menentukan corak umatnya, dia (dengan wahyu Allah) bisa saja merobah ajaran-ajaran sebelumnya, mengoreksi kesalahan dan kekeliruan masa lalu.
Namun, hal ini hanya sebatas angan belaka, rakyat israel yang terkenal dengan ke-keraskepala-annya itu tidak mau tunduk kepada Nabi terakhir yang telah dijanjikan Allah dalam kitab mereka, padahal sudah jelas bukti-bukti yang telah dikemukakan. Pada awalnya, mereka berprasangka bahwa Nabi terakhir yang akan datang itu adalah dari bangsa Israel sendiri, setelah melihat kenyataan yang ada, bahwa Nabi terakhir itu dari bangsa arab, mereka tidak mengakui hal itu. Agaknya sifat fanatik kebangsaan tertanam kokoh di lubuk hati mereka, sampai-sampai ada istilah di agama Yahudi yang sangat terkenal ‘bangsa Israel adalah satu-satunya bangsa pilihan Tuhan’. Al-Qur’an juga menjelaskan ‘berapa banyak Nabi yang diutus Allah kepada mereka yang mereka bunuh?’
Di zaman Nabi Saw. mengemban tugas guna menyampaikan risalah kepada manusia, tidak lepas juga dari ancaman kejahatan mereka. Pada saat Nabi Saw. hijrah ke Madinah, di situlah beliau berhadapan dengan para Ahli Kitab. Mungkin kita masih inggat perang Ahzab yang sangat dahsyat itu, walaupun sebenarnya tidak terjadi peperangan, namun dengan jumlah mereka yang cukup besar (gabungan antara beberapa golongan) membuat hati sebagian orang Islam (munafiq) gentar, sehingga lari terbirit-birit menuju kampung halamannya untuk menyelamatkan diri. Setelah itu, terjadi lagi peperangan dengan Bani Quraizhah (para Ahli Kitab), kaum Muslimin memukul telak mereka sampai ribuan dari mereka tewas terbunuh. Sudah beginipun mereka masih saja tetap kafir dan sombong, tidak mau mengakui eksistensi Islam sebagai agama perpanjangan agama mereka.
Walaupun keadaan mereka yang sedemikian rupa, namun Islam tetap saja berpandangan baik dengan eksistensi agama mereka. Terbukti Islam membolehkan orang-orang mukmin untuk memakan sembelihan mereka (walaupun dengan menyebut nama Tuhan mereka) dan menikahi wanita yang baik-baik (menjaga diri) dari mereka. Allah SWT. berfirma: ‘… Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu …’. (QS: al-Maidah: 5). Pada suatu hari Abu Darda’ ra. ditanya tentang seekor kibas yang disembelih atas nama kanisah (gereja), mereka bertanya; 'apakah kami boleh memakannya?' Abu Darda’ ra. menjawab: ‘hal itu dimaafkan, mereka itu Ahli Kitab, makanannya halal bagi kita dan makanan kita halal pula bagi mereka. Dan Abu Darda’ ra. menyuruh untuk memakannya. (Riwayat at-Thabari). Imam Malik ditanya tentang hal yang sama dan beliau mengatakan: ‘aku membencinya dan tidak ku haramkan’. (DR. Yusuf el-Qordhawi, 2002: 57-58). Dari ayat di atas Allah juga menjelaskan boleh menikahi perempuan Ahli kitab secara umum.
Umar ibnu al-Kaththab ra., tatkala memimpin sebuah Khilafah pernah mengeluarkan statemen yang kalau kita lihat sekilas bertentangan dengan ayat di atas. Beliau melarang Huzaifah ra, menikahi Ahli Kitab, walaupun menurut umar sendiri hal itu dihalalkan. Umar ra, takut kalau hal ini berdampak fatal mendatangnya, karena beliau melihat pada saat itu besarnya jumlah wanita muslimah, juga beliau takut (kalau menikahi perempuan Ahli Kitab) akan berdampak pada pendidikan akidah anak, sebab inilah Umar ra. melarang para sahabat saat itu (Huzaifah) untuk mengawini Ahli Kitab. Menurut DR. Muhammad Imarah dalam buku kecilnya an-Nash al-Islamy baina al-Ijtihad wal Jumud wat Tarikhiyah, larangan Umar ra, bukanlah melanggar nash yang ada, tapi ini adalah sebuah ijtihad yang mengeluarkan furu’ hukum dengan memandang kemashlahatan yang ada, di samping hukum aslinya masih tetap.
DR. Yusuf el-Qordhawi memberikan syarat-syarat tertentu untuk mengawini perempuan Ahli Kitab, antaranya:
Perempuan Ahli Kitab itu menjaga kehormatannya.
Mereka bukan Ahli Kitab yang memusuhi Islam.
Apabila jumlah kaum muslimin sedikit di negeri itu.
Tidak ada indikasi yang menunjukkan ‘bahayanya pendidikan anak’ mendatang, terutama masalah akidah.
Walaupun demikian, DR. Yusuf el-Qordhawi tetap saja mengatakan: ‘menikahi wanita muslimah adalah lebih baik dari pada menikahi perempuan Ahli kitab. (DR. Yusuf el-Qordhawi, 2002: 164).
Dalam membahas nikah antaragama ini, kiranya ada dua golongan yang berpandangan ekstrim. Universitas Paramadina dengan gerakan JIL (Jaringan Islam Liberal)-nya, berpendapat boleh nikah antaragama dengan tanpa syarat dan bahkan, boleh nikah antaragama walaupun bukan dari Ahli Kitab, laki-laki atau perempuan. Di kelompok lain berpandangan ‘haram nikah antaragama mana saja’.
Kelompok pertama – mungkin – beralasan kalau nikah antara muslim dan Ahlu Kitab (Yahudi dan Nashrani) boleh, sedangkan terdapat perbedaan mendasar antara dua agama, mengapa dengan agama lain tidak dibolehkan? Mereka lupa bahwa Tuhan mempunyai otoritas penuh dalam hal ini, bukankah mereka (Ahlu Kitab) juga agama yang pernah diturunkan Allah walaupun sekarang sudah terjadi tahrif (distorsi)?, ini adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan Allah.
Sedangkan golongan kedua beralasan, Allah berfirman: ‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min adalah lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu….’. (QS. Al-Baqarah: 221). Ayat ini dipelintir oleh Ibnu Umar ra. dalam berhujjah haramnya menikah dengan Ahli Kitab, dan beliau mengatakan; ‘aku tak tahu syirik apa yang lebih besar dari orang yang mengatakan ‘Tuhannya Isa’? (dinukil oleh Fakhrur Razi dalam tafsirnya).
Di sini Ibnu Umar ra. menyamakan antara Ahli Kitab dan orang musyrik lainnya. Kalau kita menilik sebuah ayat dari surat al-Bayyinah, kita akan mendapatkan indikasi yang membedakan antara Ahli Kitab dan orang musyrik. Allah berfirman: ‘Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang Musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata’. (QS. Al-Bayyinah: 1). Dijelaskan di sebagian kitab-kitab tafsir ‘bahwa Allah sendiri membedakan antara Ahli Kitab dengan orang-orang Musyrik’, terbukti tatkala Allah menerangkan orang-orang kafir di dalam ayat itu membagi kepada dua, Ahli Kitab dan orang Musyrik. Jadi – menurut penulis – ayat itu tidak sah dijadikan dalil pengharaman menikah dengan Ahli kitab. Allahu A’lam.
Mungkin di benak kita masih mempunyai alasan lain, yang dimaksud Ahli Kitab di situ adalah Ahli kitab di masa keaslian kitab mereka, bukan masa sekarang yang penuh dengan perobahan dan kesyirikan. Penulis kira, perkataan ini sangat tidak beralasan sekali. Mengapa demikian? Bukankah kitab Taurat dan Injil di masa Rasul Saw. sudah terjadi distorsi? (lihat, QS. An-Nisa’: 46. dan masih banyak ayat yang menerangkan hal senada). Bukankah Tuhan mereka di masa Rasul Saw. adalah Tuhan Three in one? (al-Maidah: 72-73). Namun demikian, Allah tetap saja menghalalkan memakan dan menikahi perempuan mereka. Lalu mengapa kita membedakan di masa Rasul Saw. dan zaman sekarang (?), padahal kitab mereka sama-sama telah didistorsi dan mereka – dulu dan sekarang – sama-sama menyekutukan Allah sebagai Tuhan tunggal.
Jelaslah bagi kita, bahwa Islam mempunyai sifat tasamuh (toleransi) yang cukup tinggi, yang harus menjadi pertimbangan agama lain untuk menyudutkan Islam sebagai agama yang kejam. Allahu A’lam.
<* Penulis adalah mahasiswa Fak. Theology jurusan Tafsir Al-Azhar University.
Subscribe by Email
Status Ahli Kitab
4/
5
Oleh
dayat