Kata orang, perbedaan yang paling kontras antara anak sekolahan dengan yang tidak (tuna aksara: red) adalah satu yaitu ujian. Itulah yang dijadikan barometer setiap orang untuk mengetahui seberapa tangguhnya ia. Siapapun orangnya belumlah bisa dikatakan kapabel di satu bidang sebelum orang tersebut benar-benar melewatinya. Baik yang berbentuk tulisan ataupun lisan. Yang pasti substansi dari keduanya tidak terlepas dari yang namanya pembuktian.
Hal yang sama, juga dapat kita temui seperti yang dideskripsikan Al-quran. Kita lihat bagaimana Allah Swt. memberikan pernyataan dalam bentuk istifhamiyah (introgatif) mengenai eksistensi iman (QS.29:2). Simple namun memiliki kedalaman makna yang mengandung nilai tantangan. Sama halnya juga dengan cerita tentang mu'jizat Al quran. Untuk membuktikan keotentikannya Dia menantang semua pihak yang meragukannya agar membuat yang semisal (Qs.2:23). Intinya, ujian sering dijadikan barometer setiap hal yang ingin diakui. Hingga tercapailah yang dinamakan keberhasilan.
Tapi apakah keberhasilan itu mutlak sebagai produk orang-orang yang bisa lolos dari serentetan ujian yang ada. Berarti konsekuensi logisnya bagi mereka yang gagal, keberhasilan hanya sebuah fantasi. Tidak lebih dari angan-angan yang enggan bersahabat dan hanya bisa disaksikan dari kejauhan. Terutama bagi mereka yang menyikapi kegagalan sebagai momok dan terus meyesali tanpa ada sikap untuk memperbaiki.
Mari koheresikan hal itu dengan kondisi yang ada dikalangan insan akademis seperti kita saat ini. Beberapa pekan lalu misalnya, kita telah melihat hasil simulasi studi selama setahun. Setelah hampir dua bulan otak ini dijejali dengan materi-materi ujian, saatnya kita melihat sejauh mana keberhasilan diperoleh. Pastinya, tidak semua bernasib sama (najah atau rasib: red).
Terlepas takdir yang kita peroleh, sekarang pastikan apakah kita benar-benar telah memperoleh keberhasilan "sebenarnya". Menurut hemat penulis, walaupun dua lebel –najah dan rasib- itu merupakan pilihan, namun pada dasarnya ia terklasifikasi dalam satu istilah. Penulis cenderung mengatakan “ini nasib”. Dan nasib itu terikat menjadi satu ikatan yang disebut bala' (musibah). Karena Al-quran sendiri membagi bala' menjadi dua; ada yang baik dan ada yang buruk. Tergantung bagaimana menyikapi keduanya secara proposional.
Bicara soal bala' itu sendiri tentu lebih sering diindikasikan pada sifat yang negatif. Kaitannya dengan persoalan yang kita bicarakan di atas, maka orang-orang yang rasib lah yang berhak disebut mendapat musibah. Sebaliknya, yang najah merasa terlepas dari istilah tersebut dan cenderung manamainya dengan nikmat. Makanya ketika stempel nikmat itu sudah melekat, terkadang banyak yang lupa bahwa sebenarnya nikmat juga merupakan bala'. Sehingga ia merasa bahwa ia telah berhasil dangan perolehan nikmat tersebut.
Oleh karena itu, seorang yang bijak tidak hanya menilai sebuah keberhasilan dengan kejap mata. Tapi jauh dari pada itu, ia bisa mengomparasikan antara ilmu dangan amalnya. Kalau penulis boleh merumuskan formula keberhasilan maka bentuknya seperti ini: {ilmu + amal = keberhasilan}. Atau dalam rumus lain; teori dan praktek berbanding sejajar dengan sikap.
Dengan menggunakan rumusan tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa keberhasilan merupakan refleksi sikap. Dengan kata lain seseorang yang najah kalau dia merasa puas dengan apa yang ada, dan mengalami stagnasi maka saat itu ia belum bisa dikatakan berhasil. Terlebih lagi, jika ia terperangkap oleh dekadensi yang timbul dari suasana, maka dialah orang yang gagal sebenarnya.
Begitu juga dengan yang rasib. Seandainya sikap yang diaplikasikan berupa progresifitas, maka sebenarnya ia telah memperoleh keberhasilan. Karena bisa mengidentifikasi masalah yang sebenarnya. Soalnya masalah yang terbesar bukan pada takdir yang kita peroleh, tapi bagaimana sikap kita terhadap keduanya. Barulah orang itu bisa dikatakan berhasil.
Sebagai catatan akhir bagi penulis, saya lebih setuju memakai teori relativitas seperti yang dikemukakan Einsten.-walaupun kurang tau pastinya- untuk sebuah penentuan berhasil atau tidaknya kita dalam ujian. Dan menyetir juga konsep kompetitif dalam hidup seperti yang disebut Al-quran (QS.2:148). Juga yang terpenting sikap qona’ah dalam semua pemberian (QS.14:7).
Wallahu a'lam.
*penulis Mahasiswa Azhar fakultas syariah.
Subscribe by Email
Keberhasilan Itu
4/
5
Oleh
dayat